Huh
! Dasar cowok ! ngeselin amat sih ! Dia yang ngajak dia yang batalin. Seenak
jidatnya aja, dia sangka aku senang ? Dia sangka aku santai-santai saja ? Heh !
Dasar ! Aku akan balas dendam, gak mau mengontak dia gak mau sama sekali bicara
sama dia sebelum dia menyadari kesalahannya dan sebelum dia minta maaf !
Aku menggerutu panjang lebar selama
perjalanan pulang. Bayangkan saja, ini kencan pertamaku dengannya selama
beberapa hari ini kami hanya sok jaim memendam rasa ingin tahu satu sama lain
untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Gie. Pengucapannya dengan “J” bukan
“G” itu yang selalu di lontarkan pada orang-orang yang baru mengenalnya. Cowok
yang tidak terlalu populer tapi cukup menarik perhatianku. Sebelumnya kami
memang pernah dekat sewaktu SMP, tapi hanya sekedar teman satu kelas tak lebih.
Tanpa ku sangka ternyata aku dan dia bersekolah di sekolah yang sama semenjak
setahun yang lalu tanpa juga mengetahuinya hingga kami menginjak kelas XI.
“Jo, sore nanti ada acara ?”
tanyanya siang itu di kantin sekolah.
“Nggak ada. Kenapa ?”, jawabku yang
pura-pura tidak tahu kemana arah pembicaraan ini.
“Mau nemenin aku membeli sesuatu ?”,
nah benar tapi dia gunakan alasan yang lain.
“Beli apa ?”
“Liat aja ntar deh. Mau nggak ?”,
dia bertanya sekali lagi.
“Oke ! Asal ada uang capek karna
nemenin kamu !” sahutku asal namun mengiyakan ajakannya yang disambutnya dengan
tertawa. Namun kalian tau apa yang terjadi ?
“Jo, sorry nih mendadak aku ada
urusan yang lebih penting, jadi hari ini batal yah. Mungkin lain waktu aku akan
minta bantuanmu lagi, oke ! Sorry yah”, itulah katanya ketika tina-tiba dia
menelponku disaat aku sedang menunggunya di tempat janjian kami lebih dari
setengah jam, Dasar kejam !
.
. . .
Aku melangkah dengan cepat ke kelas.
Hari ini seperti biasa ngaret lagi, huh !
“ahhh, akhirnya”, aku mendesah lega
karna belum ada guru yang masuk. Tunggu ada yang beda. Seperti gak ada
serentetan suara yang menghujamku ketika aku berada disaat-saat telat seperti
ini.
“Hey, Rin ! Mana bawelmu itu ?”, tanyaku
pada teman satu mejaku, Nirina.
“Eh, hey Jo ! sudah datang ? Bagus
!”, tidak menjawab pertanyaanku. Oke sudahlah mungkin dia lagi malas untuk
menasehatiku, atau dia terlalu senang untuk marah-marah pagi ini.
“Woy ! Liat PR dong ?! Aku lupa
ngerjain nih !”, aku panik karna lupa mengerjakan tugas penting. PR matematika.
Gurunya sih gak killer, tapi dia nggak segan-segan menjatuhkan muridnya dengan
cara menjatuhkan nilainya pula.
“Kok pada diem semua ? Temen kalian
ini butuh bantuan loh !”, kataku sekali lagi. Namun tak ada reaksi apaun dari
mereka yang kumintai tolong. Ya Tuhan. Salah apa aku hari ini ? Telat ? Tidak
juga, diandingkan dari hari lain hari ini nilai telatku naik. Lalu apa ? Kenapa
pada aneh hari ini ?
“Wah tega kalian !”
“.......”
.
. . .
Oke. Ku kira hari ini akan
menyenangkan. Karena aku sudah cukup mengeluarkan kejengkelanku sabtu sore
lalu. Tapi sepertinya aku tidak dibiarkan untuk membuat hariku sendiri
menyenangkan. Anak-anak aneh hari ini, ditambah hukuman bu Nuri guru
matematikaku tadi dan hari ini pula seakan sabtu kemarin tidak terjadi apa-apa
Gie bersikap biasa saja tanpa merasa bersalah sedikitpun. Oke dia sudah minta
maaf tapi itu tidak cukup.
Nah, di mana lagi mereka sekarang ?
Biasanya aku pulang bersama Nirina, Jundi dan beberapa teman lain. Kami pulang
dengan jalan kaki, maklumlah rumah kami dekat dengan sekolah dan kebetulan pula
berdekatan satu sama lain. Tapi saat ini mereka tak ada, apa sudah duluan ? Gak
biasanya mereka menghilang tanpa memberi tahuku lebih dulu. Ya sudahlah aku
pulang duluan saja. Dengan rasa jengkel yang tersisa akupun pulang. Malas untuk
melangkahkan kaki menuju rumah, aku melangkahkan kakiku ke taman di daerah komplekku
tinggal. Hanya ingin duduk-duduk tenang untuk membuat sisa hariku ini dengan
sedikit lebih menyenangkan. Dan untuk berpikir pula.
Aku memilih bangku yang ada di dekat
taman bermain kecil tempat para anak-anak mungil komplekku bermain dengan
riangnya. Tidak banyak orang yang berada di taman ini, hanya ada dua orang ibu
dan tiga anak kecil yang bermain sambil diawasi ibu mereka. Aku bingung,
mengapa beberapa hari terakhir teman-temanku bersikap aneh. Bersikap
seakan-akan aku bukan teman baik mereka. Apalagi Nirina. Aku dan Nirina adalah
teman sepermainan. Sejak SD kelas satu kami sudah berada di sekolah yang sama
duduk di meja yang sama dan bermain bersama, hanya ketika SMP kami berpisah
karena kami punya pendapat beda mengenai SMP yang bagus. Namun bukan berarti
juga persahabatan kami lenyap. Kami masih sering
bertemu bahkan berbagi cerita. Dari dulu sikapnya tidak pernah seperti ini,
kami selalu bercanda dan diapun tampak selalu ceria.
Mama dan Papa juga ikutan bertingkah
aneh. Sejak beberapa hari
terakhir pula mereka sering pulang larut malam. Biasanya mereka tak pernah
seperti itu. Mereka selalu memikirkanku yang pasti gelisah menunggu kepulangan
mereka, tapi kali ini mereka seakan tak peduli lagi. Bahkan ketika sampai di
rumah mereka hanya mengucapkan selamat malam lalu langsung menuju ke kamar hingga
besok pagi tanpa menanyakan kabarku. Paginya juga terasa aneh, kami hanya
mengucapkan selamat pagi lalu diam dalam dentingan sendok yang menyentuh piring
ketika kami sarapan. Aku terlalu kebingungan untuk memulai pembicaraan jadi,
akupun hanya bisa duduk sambil menyantap sarapanku dengan seribu tanya.
Gak hanya itu. Gie, cowok yang aku
taksir bahkan juga aneh. Biasanya dia rajin mendatangiku walau hanya untuk
sekedar mendiskusikan sesuatu yang tak penting, tapi beberapa hari ini tidak.
Terakhir dia mendatangiku ketika dia memintaku untuk menemaninya membeli
sesuatu yang terpaksa harus dibatalkan tanpa aku tau alasan yang jelas kenapa.
Sudah begitu dia bersikap biasa-biasa saja setelah itu semua terjadi, seakan
dia tak pernah bersalah dan tak sedikitpun membuat kesalahan. Huh !
Menjengkelkan !
Emang apa yang salah denganku
beberapa hari ini ? Aku gak merasa berbuat kesalahan sekecil apapun. Kenapa
semuanya seakan berubah ?
“Yakin kamu gak pernah melakukan
suatu kesalahan sekecil apapun itu ?”, Gie ? Oh, ya ampun tanpa ku sadari aku
mengucapkan apa yang ada dipikiranku sehingga ada yang mendengarnya, dan itu
... Gie ?
“Ya, ini aku ? Kenapa ? Heran
melihatku di sini ?”, aku tak menjawab. Aku hanya terbengong akan kehadirannya
dan heran, apa dia membaca pikiranku ?
“Kamu pernah berpikir, bahwa pasti
ada sesuatu yang selalu kita lewatkan. Sesuatu yang menurut kita tidak penting
sama sekali namun ternyata itu berpengaruh besar bagi orang-orang terdekat kita
? Sesuatu yang terlewat itu bisa berupa apa saja, baik itu bersifat negatif
atau positif. Coba kamu pikir-pikir deh”, aku menengadah dan berpikir.
“Ya, pasti memang selalu ada yang
terlewatkan. Apalagi untuk orang yang pelupa dan ceroboh sepertiku. Tapi, hey !
Kenapa kamu berkata seperti itu ?”, aku menjawab pertanyaannya dan langsung
bertanya pula padanya.
“Ya, kalau itu bersifat positif atau
baik, kita cukup melupakannya karena jika kita selalu mengingat-ingat perbuatan
baik kita itu akan menjadi bomerang pada diri kita sendiri, yaitu timbul sifat
ria kita. Namun kalau ternyata yang terlewatkan itu bersifat negatif atau buruk,
cobalah untuk tidak melewatkannya, ingat dan analisis dimana letak kesalahannya
lalu setelah itu kita tinggal memperbaikinya”, dia berceloteh panjang lebar
seakan sedang menasihati seorang cucunya yang baru melakukan kejahatan besar
untuk bumi ini. Aku mengerti apa yang dijelaskannya namun aku tidak mengerti
maksud dari dia berkata seperti itu.
“A..”, baru aku akan membuka mulut
ketika dia melanjutkan kata-katanya.
“Keegoisan itu memang hal yang
dimiliki setiap manusia. Menurutku itu fitrahnya manusia juga, karena mustahil
orang tidak memiliki sifat egois. Sebaik-baiknya orang itu pasti ada saatnya
ketika dia mementingkan dirinya sendiri daripada orang lain. Tapi jangan
biarkan ego kita itu berkembang semakin besar, tahanlah perkembangannya,
biarkan kita yang punya kendali penuh atas ego itu. Jangan biarkan ego itu yang
mengendalikan kita. Nah, jika kita mampu mengendalikannya meskipun selalu ada
kendala tapi aku yakin kita bisa menjadi orang yang lebih baik lagi dari
sebelumnya”.
Aku hanya terbengong. Aku merasa
seperti sedang disidang. Aku.. aku.. aku hanya..
“Ayo pulanglah, jangan di sini saja
sampai sore ntar orang tuamu khawatir loh”, pikiranku buyar.
“Orang tuaku akhir-akhir ini selalu
lembur !”, ketusku karena masih merasa jengkel dengan semua keanehan mereka.
“Nah, itu sudah su’uzhan. Jangan
seperti itu, mereka lemburkan juga demi kepentinganmu. Jangan hanya bisa
menyalahkan mereka, kalau kamu merasa kesepian, bicarakanlah dengan mereka
secara baik-baik jangan ikut berdiam saja menunggu mereka angkat bicara duluan.
Dasar keras kepala !”. aku hanya merengut, namun sebagian pikiran dan hatiku
menganggapnya benar, atau mungkin memang benar ?!
“Ya sudah, sana pulang. Aku juga mau
pulang nih”, dia menyuruhku pulang dan meletakkan tangannya di kepalaku
mengacak rambutku sebagai salam perpisahannya. Aku hanya diam karena terkejut
oleh perlakuannya. Baru kali ini seseorang selain mama atau papa yang menyentuh
kepalaku.
.
. . .
Dengan masih setengah hati aku
menyeret kakiku untuk menuju rumah. Aku terus memikirkan kata-kata Gie barusan.
Baru kali ini aku mendengar Gie melontarkan kata-kata seperti itu. Aku sampai
tercengang dibuatnya. Namun yang aku tak habis pikir, mengapa dia tiba-tiba
berkata seperti itu ? Apa itu pengalamannya dan ia ingin berbagi ? Dia tidak
mau orang mengalami hal yang sama sehingga dia menasihatiku seperti itu agar
aku bisa belajar dari dia ? Tiba-tiba aku seakan baru mendapat ilham, aku
menyadari sesuatu yang selama ini tak pernah ku sadari sebelumnya. Ya, aku tau
kenapa Gie berkata seperti itu. Kenapa aku ini bodoh sekali, aku tak pernah
menyadarinya tapi orang yang diam-diam ku sayangi itu menyadari banyak hal. Itu
bukan pengalamannya, melainkan hal yang dilihatnya dan dianalisisnya,
dipikirkannya dan dengan baik hati di sampaikan kepada sumber masalah agar dia
tak terlibat masalah yang lebih jauh. Aku mengerti Gie, aku mengerti.
“Assalamu’alaikum..”, tiba-tiba
ruang tamu rumahku yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang dan ...
“Surprise !!! Happy birthday to you,
happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you
!!!”, aku kaget sekali, aku terkejut. Yah benar-benat terkejut sampai aku
menitikan air mata.
“Hey ! Jo sayang, kenapa menangis ?
Ini surprice buat kamu loh ?”, terdengar suara Nirina yang kaget melihatku
menangis.
“Anak mama kok nangis ? bukannya
senang di kasi kejutan seperti ini ? Aduh, jangan nangis dong sayang. Mama tau
kamu bahagia tapi nangsinya jangan seperti itu ah !”, kali ini mama, membuat
tangisanku semakin pecah. Masing-masing dari mereka heran dan terus bertanya
mengapa aku menangis dan bukannya tertawa bahagia malam ini.
“Ka..ka..kalian baik sekali ?”,
akhirnya kata-kataku keluar juga dari mulutku.
“Hey, Jo ! Itu gunanya teman bukan ?
Kenapa berkata seperti itu ?”, Nirina kembali mengeluarkan suaranya yang
langsung disetujui orang-orang yang berada di ruangan itu. Tak terlalu jelas
siapa saja yang ada saat ini, karna mataku kabur oleh air mataku. Namun aku
tau, mereka adalah orang-orang yang menyayangiku tanpa peduli bagaimana
keadaanku.
“A..aku minta maaf sama kalian
semua. Ma..maafin aku. Aku tau selama ini aku orang yang egois. Aku selalu
memikirkan keadaanku daripada mencoba memikirkan perasaan kalian. Aku egois,
aku tau aku egois. Aku selalu bersikap manja pada papa dan mama, selalu minta
ini itu dikesibukan papa dan mama untuk mencari nafkah menghidupiku, tanpa aku
tau juga perasaan papa dan mama. Aku bahkan masih bisa bermanja pada kalian
semua dengan menggunakan alasan kecerobohan dan kelupaanku untuk meminta
sesuatu pada kalian, minta dibikinkan PRlah dari kalian yang sebenarnya masih
bisa ku kerjakan sendiri. Aku tau juga egois memang sifat masing-masing dari
manusia, dan aku tau pula keegoisanku telah melampaui batas tanpa kesadaranku”,
aku menarik nafas untuk mengatur nafasku yang terengah-engah.
“Semua yang kusebutkan tadi aku tau
hanya sebagian kecil dari keegoisanku, tapi kalian, kalian tetap ada di sini
memberiku kebahagiaan, memberiku keceriaan meski aku adalah orang yang selalu
mengganggu kalian. Kalian tau ? Aku.. aku sangat sayang pada kalian”, dan
tangisku pun pecah kembali. Dihamburi pelukan-pelukan hangat dari papa dan mama
serta sahabat-sahabatku semua.
“Jo, kami tau kamu sayang pada kami.
Tapi jangan pernah berpikiran bahwa kami akan tidak senang akan kehadiranmu Jo
! Jangan pernah merasa seperti itu, kami sama sekali tidak keberatan dengan
sikap ceroboh dan pelupamu itu. Kamu tau ? Kamu lucu kalu sedang panik seperti
itu. Kami juga sayang padamu Jo. Kami juga minta maaf karena kemarin kami hanya
berniat ngerjain kamu untuk memperlengkap surprice kami ini. Nah, sekarang
lupakan semuanya dan mari kita bersenang-senang !”, aku hanya tersenyum
mendengar Nirina berbicara seperti itu, aku tau mereka sayang aku. Tapi aku
berjanji pada diriku sendiri, aku akan memanage egoku sehingga tidak terlalu
berkembang dan egoku tidak berkuasa untuk memanage diriku.
“Sekarang tersenyum dong sayang”,
mama memberikanku contoh tersenyum yang manis dengan menyunggingkan senyum di
bibirnya. Akupun menirunya dengan rasa haru dan bahagia yang luar biasa.
Tatapanku beralih ke meja tempat
minuman-minuman diletakkan. Di sana, dia, salah satu orang yang ku sayangi pula
dengan sangat, menyunggingkan seulas senyumnya yang sangat menawan dan
memberikan dua jempolnya untuk diriku yang masih lemah ini.
berikut cerpenku, semoga terhibuuurrr
berikut cerpenku, semoga terhibuuurrr
widya_sp