Rabu, 07 September 2011

EGO !


Huh ! Dasar cowok ! ngeselin amat sih ! Dia yang ngajak dia yang batalin. Seenak jidatnya aja, dia sangka aku senang ? Dia sangka aku santai-santai saja ? Heh ! Dasar ! Aku akan balas dendam, gak mau mengontak dia gak mau sama sekali bicara sama dia sebelum dia menyadari kesalahannya dan sebelum dia minta maaf !
            Aku menggerutu panjang lebar selama perjalanan pulang. Bayangkan saja, ini kencan pertamaku dengannya selama beberapa hari ini kami hanya sok jaim memendam rasa ingin tahu satu sama lain untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Gie. Pengucapannya dengan “J” bukan “G” itu yang selalu di lontarkan pada orang-orang yang baru mengenalnya. Cowok yang tidak terlalu populer tapi cukup menarik perhatianku. Sebelumnya kami memang pernah dekat sewaktu SMP, tapi hanya sekedar teman satu kelas tak lebih. Tanpa ku sangka ternyata aku dan dia bersekolah di sekolah yang sama semenjak setahun yang lalu tanpa juga mengetahuinya hingga kami menginjak kelas XI.
            “Jo, sore nanti ada acara ?” tanyanya siang itu di kantin sekolah.
            “Nggak ada. Kenapa ?”, jawabku yang pura-pura tidak tahu kemana arah pembicaraan ini.
            “Mau nemenin aku membeli sesuatu ?”, nah benar tapi dia gunakan alasan yang lain.
            “Beli apa ?”
            “Liat aja ntar deh. Mau nggak ?”, dia bertanya sekali lagi.
            “Oke ! Asal ada uang capek karna nemenin kamu !” sahutku asal namun mengiyakan ajakannya yang disambutnya dengan tertawa. Namun kalian tau apa yang terjadi ?
            “Jo, sorry nih mendadak aku ada urusan yang lebih penting, jadi hari ini batal yah. Mungkin lain waktu aku akan minta bantuanmu lagi, oke ! Sorry yah”, itulah katanya ketika tina-tiba dia menelponku disaat aku sedang menunggunya di tempat janjian kami lebih dari setengah jam, Dasar kejam !
. . . .
            Aku melangkah dengan cepat ke kelas. Hari ini seperti biasa ngaret lagi, huh !
            “ahhh, akhirnya”, aku mendesah lega karna belum ada guru yang masuk. Tunggu ada yang beda. Seperti gak ada serentetan suara yang menghujamku ketika aku berada disaat-saat telat seperti ini.
            “Hey, Rin ! Mana bawelmu itu ?”, tanyaku pada teman satu mejaku, Nirina.
            “Eh, hey Jo ! sudah datang ? Bagus !”, tidak menjawab pertanyaanku. Oke sudahlah mungkin dia lagi malas untuk menasehatiku, atau dia terlalu senang untuk marah-marah pagi ini.
            “Woy ! Liat PR dong ?! Aku lupa ngerjain nih !”, aku panik karna lupa mengerjakan tugas penting. PR matematika. Gurunya sih gak killer, tapi dia nggak segan-segan menjatuhkan muridnya dengan cara menjatuhkan nilainya pula.
            “Kok pada diem semua ? Temen kalian ini butuh bantuan loh !”, kataku sekali lagi. Namun tak ada reaksi apaun dari mereka yang kumintai tolong. Ya Tuhan. Salah apa aku hari ini ? Telat ? Tidak juga, diandingkan dari hari lain hari ini nilai telatku naik. Lalu apa ? Kenapa pada aneh hari ini ?
            “Wah tega kalian !”
            “.......”
. . . .
            Oke. Ku kira hari ini akan menyenangkan. Karena aku sudah cukup mengeluarkan kejengkelanku sabtu sore lalu. Tapi sepertinya aku tidak dibiarkan untuk membuat hariku sendiri menyenangkan. Anak-anak aneh hari ini, ditambah hukuman bu Nuri guru matematikaku tadi dan hari ini pula seakan sabtu kemarin tidak terjadi apa-apa Gie bersikap biasa saja tanpa merasa bersalah sedikitpun. Oke dia sudah minta maaf tapi itu tidak cukup.
            Nah, di mana lagi mereka sekarang ? Biasanya aku pulang bersama Nirina, Jundi dan beberapa teman lain. Kami pulang dengan jalan kaki, maklumlah rumah kami dekat dengan sekolah dan kebetulan pula berdekatan satu sama lain. Tapi saat ini mereka tak ada, apa sudah duluan ? Gak biasanya mereka menghilang tanpa memberi tahuku lebih dulu. Ya sudahlah aku pulang duluan saja. Dengan rasa jengkel yang tersisa akupun pulang. Malas untuk melangkahkan kaki menuju rumah, aku melangkahkan kakiku ke taman di daerah komplekku tinggal. Hanya ingin duduk-duduk tenang untuk membuat sisa hariku ini dengan sedikit lebih menyenangkan. Dan untuk berpikir pula.
            Aku memilih bangku yang ada di dekat taman bermain kecil tempat para anak-anak mungil komplekku bermain dengan riangnya. Tidak banyak orang yang berada di taman ini, hanya ada dua orang ibu dan tiga anak kecil yang bermain sambil diawasi ibu mereka. Aku bingung, mengapa beberapa hari terakhir teman-temanku bersikap aneh. Bersikap seakan-akan aku bukan teman baik mereka. Apalagi Nirina. Aku dan Nirina adalah teman sepermainan. Sejak SD kelas satu kami sudah berada di sekolah yang sama duduk di meja yang sama dan bermain bersama, hanya ketika SMP kami berpisah karena kami punya pendapat beda mengenai SMP yang bagus. Namun bukan berarti juga persahabatan kami lenyap. Kami masih sering bertemu bahkan berbagi cerita. Dari dulu sikapnya tidak pernah seperti ini, kami selalu bercanda dan diapun tampak selalu ceria.
            Mama dan Papa juga ikutan bertingkah aneh. Sejak beberapa hari terakhir pula mereka sering pulang larut malam. Biasanya mereka tak pernah seperti itu. Mereka selalu memikirkanku yang pasti gelisah menunggu kepulangan mereka, tapi kali ini mereka seakan tak peduli lagi. Bahkan ketika sampai di rumah mereka hanya mengucapkan selamat malam lalu langsung menuju ke kamar hingga besok pagi tanpa menanyakan kabarku. Paginya juga terasa aneh, kami hanya mengucapkan selamat pagi lalu diam dalam dentingan sendok yang menyentuh piring ketika kami sarapan. Aku terlalu kebingungan untuk memulai pembicaraan jadi, akupun hanya bisa duduk sambil menyantap sarapanku dengan seribu tanya.
            Gak hanya itu. Gie, cowok yang aku taksir bahkan juga aneh. Biasanya dia rajin mendatangiku walau hanya untuk sekedar mendiskusikan sesuatu yang tak penting, tapi beberapa hari ini tidak. Terakhir dia mendatangiku ketika dia memintaku untuk menemaninya membeli sesuatu yang terpaksa harus dibatalkan tanpa aku tau alasan yang jelas kenapa. Sudah begitu dia bersikap biasa-biasa saja setelah itu semua terjadi, seakan dia tak pernah bersalah dan tak sedikitpun membuat kesalahan. Huh ! Menjengkelkan !
            Emang apa yang salah denganku beberapa hari ini ? Aku gak merasa berbuat kesalahan sekecil apapun. Kenapa semuanya seakan berubah ?
            “Yakin kamu gak pernah melakukan suatu kesalahan sekecil apapun itu ?”, Gie ? Oh, ya ampun tanpa ku sadari aku mengucapkan apa yang ada dipikiranku sehingga ada yang mendengarnya, dan itu ... Gie ?
            “Ya, ini aku ? Kenapa ? Heran melihatku di sini ?”, aku tak menjawab. Aku hanya terbengong akan kehadirannya dan heran, apa dia membaca pikiranku ?
            “Kamu pernah berpikir, bahwa pasti ada sesuatu yang selalu kita lewatkan. Sesuatu yang menurut kita tidak penting sama sekali namun ternyata itu berpengaruh besar bagi orang-orang terdekat kita ? Sesuatu yang terlewat itu bisa berupa apa saja, baik itu bersifat negatif atau positif. Coba kamu pikir-pikir deh”, aku menengadah dan berpikir.
            “Ya, pasti memang selalu ada yang terlewatkan. Apalagi untuk orang yang pelupa dan ceroboh sepertiku. Tapi, hey ! Kenapa kamu berkata seperti itu ?”, aku menjawab pertanyaannya dan langsung bertanya pula padanya.
            “Ya, kalau itu bersifat positif atau baik, kita cukup melupakannya karena jika kita selalu mengingat-ingat perbuatan baik kita itu akan menjadi bomerang pada diri kita sendiri, yaitu timbul sifat ria kita. Namun kalau ternyata yang terlewatkan itu bersifat negatif atau buruk, cobalah untuk tidak melewatkannya, ingat dan analisis dimana letak kesalahannya lalu setelah itu kita tinggal memperbaikinya”, dia berceloteh panjang lebar seakan sedang menasihati seorang cucunya yang baru melakukan kejahatan besar untuk bumi ini. Aku mengerti apa yang dijelaskannya namun aku tidak mengerti maksud dari dia berkata seperti itu.
            “A..”, baru aku akan membuka mulut ketika dia melanjutkan kata-katanya.
            “Keegoisan itu memang hal yang dimiliki setiap manusia. Menurutku itu fitrahnya manusia juga, karena mustahil orang tidak memiliki sifat egois. Sebaik-baiknya orang itu pasti ada saatnya ketika dia mementingkan dirinya sendiri daripada orang lain. Tapi jangan biarkan ego kita itu berkembang semakin besar, tahanlah perkembangannya, biarkan kita yang punya kendali penuh atas ego itu. Jangan biarkan ego itu yang mengendalikan kita. Nah, jika kita mampu mengendalikannya meskipun selalu ada kendala tapi aku yakin kita bisa menjadi orang yang lebih baik lagi dari sebelumnya”.
            Aku hanya terbengong. Aku merasa seperti sedang disidang. Aku.. aku.. aku hanya..
            “Ayo pulanglah, jangan di sini saja sampai sore ntar orang tuamu khawatir loh”, pikiranku buyar.
            “Orang tuaku akhir-akhir ini selalu lembur !”, ketusku karena masih merasa jengkel dengan semua keanehan mereka.
            “Nah, itu sudah su’uzhan. Jangan seperti itu, mereka lemburkan juga demi kepentinganmu. Jangan hanya bisa menyalahkan mereka, kalau kamu merasa kesepian, bicarakanlah dengan mereka secara baik-baik jangan ikut berdiam saja menunggu mereka angkat bicara duluan. Dasar keras kepala !”. aku hanya merengut, namun sebagian pikiran dan hatiku menganggapnya benar, atau mungkin memang benar ?!
            “Ya sudah, sana pulang. Aku juga mau pulang nih”, dia menyuruhku pulang dan meletakkan tangannya di kepalaku mengacak rambutku sebagai salam perpisahannya. Aku hanya diam karena terkejut oleh perlakuannya. Baru kali ini seseorang selain mama atau papa yang menyentuh kepalaku.
. . . .
            Dengan masih setengah hati aku menyeret kakiku untuk menuju rumah. Aku terus memikirkan kata-kata Gie barusan. Baru kali ini aku mendengar Gie melontarkan kata-kata seperti itu. Aku sampai tercengang dibuatnya. Namun yang aku tak habis pikir, mengapa dia tiba-tiba berkata seperti itu ? Apa itu pengalamannya dan ia ingin berbagi ? Dia tidak mau orang mengalami hal yang sama sehingga dia menasihatiku seperti itu agar aku bisa belajar dari dia ? Tiba-tiba aku seakan baru mendapat ilham, aku menyadari sesuatu yang selama ini tak pernah ku sadari sebelumnya. Ya, aku tau kenapa Gie berkata seperti itu. Kenapa aku ini bodoh sekali, aku tak pernah menyadarinya tapi orang yang diam-diam ku sayangi itu menyadari banyak hal. Itu bukan pengalamannya, melainkan hal yang dilihatnya dan dianalisisnya, dipikirkannya dan dengan baik hati di sampaikan kepada sumber masalah agar dia tak terlibat masalah yang lebih jauh. Aku mengerti Gie, aku mengerti.
            “Assalamu’alaikum..”, tiba-tiba ruang tamu rumahku yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang dan ...
            “Surprise !!! Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you !!!”, aku kaget sekali, aku terkejut. Yah benar-benat terkejut sampai aku menitikan air mata.
            “Hey ! Jo sayang, kenapa menangis ? Ini surprice buat kamu loh ?”, terdengar suara Nirina yang kaget melihatku menangis.
            “Anak mama kok nangis ? bukannya senang di kasi kejutan seperti ini ? Aduh, jangan nangis dong sayang. Mama tau kamu bahagia tapi nangsinya jangan seperti itu ah !”, kali ini mama, membuat tangisanku semakin pecah. Masing-masing dari mereka heran dan terus bertanya mengapa aku menangis dan bukannya tertawa bahagia malam ini.
            “Ka..ka..kalian baik sekali ?”, akhirnya kata-kataku keluar juga dari mulutku.
            “Hey, Jo ! Itu gunanya teman bukan ? Kenapa berkata seperti itu ?”, Nirina kembali mengeluarkan suaranya yang langsung disetujui orang-orang yang berada di ruangan itu. Tak terlalu jelas siapa saja yang ada saat ini, karna mataku kabur oleh air mataku. Namun aku tau, mereka adalah orang-orang yang menyayangiku tanpa peduli bagaimana keadaanku.
            “A..aku minta maaf sama kalian semua. Ma..maafin aku. Aku tau selama ini aku orang yang egois. Aku selalu memikirkan keadaanku daripada mencoba memikirkan perasaan kalian. Aku egois, aku tau aku egois. Aku selalu bersikap manja pada papa dan mama, selalu minta ini itu dikesibukan papa dan mama untuk mencari nafkah menghidupiku, tanpa aku tau juga perasaan papa dan mama. Aku bahkan masih bisa bermanja pada kalian semua dengan menggunakan alasan kecerobohan dan kelupaanku untuk meminta sesuatu pada kalian, minta dibikinkan PRlah dari kalian yang sebenarnya masih bisa ku kerjakan sendiri. Aku tau juga egois memang sifat masing-masing dari manusia, dan aku tau pula keegoisanku telah melampaui batas tanpa kesadaranku”, aku menarik nafas untuk mengatur nafasku yang terengah-engah.
            “Semua yang kusebutkan tadi aku tau hanya sebagian kecil dari keegoisanku, tapi kalian, kalian tetap ada di sini memberiku kebahagiaan, memberiku keceriaan meski aku adalah orang yang selalu mengganggu kalian. Kalian tau ? Aku.. aku sangat sayang pada kalian”, dan tangisku pun pecah kembali. Dihamburi pelukan-pelukan hangat dari papa dan mama serta sahabat-sahabatku semua.
            “Jo, kami tau kamu sayang pada kami. Tapi jangan pernah berpikiran bahwa kami akan tidak senang akan kehadiranmu Jo ! Jangan pernah merasa seperti itu, kami sama sekali tidak keberatan dengan sikap ceroboh dan pelupamu itu. Kamu tau ? Kamu lucu kalu sedang panik seperti itu. Kami juga sayang padamu Jo. Kami juga minta maaf karena kemarin kami hanya berniat ngerjain kamu untuk memperlengkap surprice kami ini. Nah, sekarang lupakan semuanya dan mari kita bersenang-senang !”, aku hanya tersenyum mendengar Nirina berbicara seperti itu, aku tau mereka sayang aku. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan memanage egoku sehingga tidak terlalu berkembang dan egoku tidak berkuasa untuk memanage diriku.
            “Sekarang tersenyum dong sayang”, mama memberikanku contoh tersenyum yang manis dengan menyunggingkan senyum di bibirnya. Akupun menirunya dengan rasa haru dan bahagia yang luar biasa.
            Tatapanku beralih ke meja tempat minuman-minuman diletakkan. Di sana, dia, salah satu orang yang ku sayangi pula dengan sangat, menyunggingkan seulas senyumnya yang sangat menawan dan memberikan dua jempolnya untuk diriku yang masih lemah ini.

berikut cerpenku, semoga terhibuuurrr 

widya_sp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar